Novel Saman Sebagai Pelopor
Feminisme di Indonesia
Novel
Saman karya Ayu Utami menceritakan tokoh Wisanggeni, memiliki seorang ibu yang
berhubungan dengan makhluk lain yang tidak dapat dilihat sampai kemudian ibunya
hamil dan tanpa bisa diterima nalar manusi bayi diperut sang ibupun hilang
entah kemana, begitu pun dengan kehamilan keduanya dan pada kehamilan ketiga
ibunya sempat melahirkan seorang anak perempuan namun, pada akhirnya meninggal
dalam waktu 3 hari setelah kelahiran. Beberapa tahun kemudian keluarga
wisanggeni bermigrasi ke Jakarta. Pada usia 26 tahun Wis memilih kembali ke
Prabumulih untuk mengabdikan diri sebagai pastor paroki parid di sana dan
kemudian bertemu dengan seorang anak perempuan bernama Upi yang memliki
kelainan dan hidup miskin sehingga membuat Wis tertarik hatinya untuk membantu
keluarga Upi dan masyarakat sekitar. Namun, Wis bernasib malang, ia kemudian
ditangkap dan siksa oleh petugas. Dan berkat pertolongan mistis ia mampu
melarikan diri.
Cerita
kemudian berlanjut ke Laila, Shakuntala, Yasmin dan Cok Gita yang hidup di luar
dari budaya-budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kesopanan dan adat
istiadat. Mereka melakukan hubungan antara sesama perempuan dan melakukan
hubungan seks bebas diluar nikah. Mereka berempat berteman sejak kecil
Novel
ini sangat berani dalam menceritakan berbagai pengalaman seks dari sang tokoh
sehingga melahirkan pandangan miring terhadap Ayu Utami (pengarang). Namun yang
cenderung mendominasi dari novel ini adalah rasa simpati Wisanggeni yang
bermula dari pertemuannya dengan Upi yang kemudian membangkitkan semangat Wis
untuk memberikan kehidupan yang lebih layak kepada Upi dan keluarganya. Novel
ini juga berbau mistitisme dan feminisme. Adanya aliran mistitisme (gaib) di
dalam novel ini karena seperti yang kita ketahui bahwa novel ini menceritakan
sang Ibu yang menjalin hubungan dengan makhluk lain yang tidak terlihat
sosoknya hingga membuat sang Ibu hamil. Pada kehamilan yang pertamanya, bayi
dalam kandungan Ibu hilang tanpa sempat dilahirkan, benar-benar kejadian yang
diluar nalar manusia. Begitu juga dengan kelahiran keduanya, anak di dalam
kandungan Ibu kembali hilang tanpa sempat dilahirkan. Dan pada kehamilan
ketiganya bayi sang Ibu meninggal dihari ketiga tanpa diketahui penyebabnya. Hal-hal
yang terjadi di kehidupan Ibu Wisanggeni sangat diluar nalar apabila diukur
dari segi logika manusia. Mungkin memang benar hal itu pernah terjadi di daerah
sekitar Prabumulih ataupun daerah lainnya akan tetapi apabila dibandingkan
dengan kehidupan dimasa sekarang mana mungkin hal seperti itu terjadi lagi
karena pemikiran masyarakat sekarang yang berpedoman pada logika dan sesuai
kenyataan.
Selanjutnya yaitu aliran feminisme yang
terkandung di dalam novel ini karena di dalamnya menceritakan tentang perasaan
tidak adil atas tugas yang diemban oleh para wanita timur yang harus menjaga
keperawananya sampai ia menikah. Walaupun masyarakat Indonesia cukup toleran
dalam hubungan seks di luar pernikahan maupun pelacuran, akan tetapi dalam
wacana publik, sterotip-sterotip dan mitos bahwa perempuan harus pasif. Jadi
posisi perempuan menjadi serba salah dan itulah yang coba diangkat oleh Ayu
Utami dalm novel Saman. Karena itulah disini para tokoh menentang itu semua
dengan melakukan hubungan seks diluar nikah dengan sembarang lelaki. Bukan
hanya itu, novel ini juga menceritakan hubungan yang tidak semestinya anatar
para wanita yang sering disebut lesbi atau
orang-orang Perancis menyebutnya femme. Bila
diukur dari segi masyarakat Indonesia yang sampai sekarang masih menjunjung
nilai-nilai budaya timur yang memegang teguh nilai kesopanan dan keagamaan,
prilaku perempuan di dalam novel ini benar-benar bertolak belakang. Tapi inilah
yang menjadi daya tarik para penikmat sastra karena novel ini sangat berani
mengungkapkan cerita-cerita seks yang ganas sehingga hanya pembaca yang sudah
benar-benar dewasa saja yang bisa membacanya karena apabila novel ini di
berikan pada anak-anak yang dibawah umur bisa jadi merusak kepribadian anak
bangsa dan mengeksplor apa yang dibacanya melalui prilaku sehari-hari. Memang
benar novel ini menggadang-gadangkan tentang gender, hak yang dirasa tidak adil bagi wanita, emansipasi dan
sebagainya yang berhubungan dengan wanita. Akan tetapi perlu diketahui bahwa
sebagai wanita itulah tugas yang diemban setiap wanita : menjaga
kehormatanannya sampai ia menemukan seseorang yang sanggup menikahinya. Bukan
hanya Islam, agama lain pun mengajarkan hal yang sama. Tidak ada agama yang
mengajarkan keburukan, pastilah setiap agama mengajarkan kebaikkan. Dan novel
ini sangat berlebihan dalam menggalangkan emansipasi wanita. Emansipasi yang
digambarkan dalam novel ini sudah kebalasan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang sudah tertanam sejak zaman dahulu di Negara Indonesia ini.
Terlepas
dari segi mistitisme dan feminismenya, novel ini memberika amanat yang bisa
dipetik oleh setiap pembaca melalui tokoh Wisanggeni. Tidak semua orang mau dan
mampu menolong orang lain hingga mengorbankan waktu, tenaga, nyawa, kebebesan
hingga mencoreng nama baiknya dimasyarakat dan akhirnya membuat ia harus
meninggalkan jubah kepastorannya. Itulah yang berusaha di ungkapakan pengarang
melalui tokoh Wisanggeni. Apabila para
penikmat sastra mampu memetik pesan yang berusaha disampaikan pengarang, bisa
jadi itu membuat para penikmat sastra mampu mengapresiasikannya kedalam
kehidupan sehari-hari dengan mengimplementasikan kebaikan-kebaikan yang ada
dalam novel ini. Dan dari novel ini kita dapat belajar, karena belajar berarti
mengubah pemikiran dan tindakan orang dari negatif menjadi positif, bukan
sebaiknya. Apabila tujuan kita dari membaca karya satra adalah untuk belajar,
maka kita akan mampu menarik pelajaran-pelajaran dari sana. Dan apabila tujuan
kita hanya untuk menikmati sebuah karya sastra maka bisa jadi kita tidak akan mendapatkan
pelajaran dari cerita-cerita yang berusaha diungkapkan pengarang.