Minggu, 04 Agustus 2013

kritik jurnalistik


Novel Saman Sebagai Pelopor Feminisme di Indonesia

Novel Saman karya Ayu Utami menceritakan tokoh Wisanggeni, memiliki seorang ibu yang berhubungan dengan makhluk lain yang tidak dapat dilihat sampai kemudian ibunya hamil dan tanpa bisa diterima nalar manusi bayi diperut sang ibupun hilang entah kemana, begitu pun dengan kehamilan keduanya dan pada kehamilan ketiga ibunya sempat melahirkan seorang anak perempuan namun, pada akhirnya meninggal dalam waktu 3 hari setelah kelahiran. Beberapa tahun kemudian keluarga wisanggeni bermigrasi ke Jakarta. Pada usia 26 tahun Wis memilih kembali ke Prabumulih untuk mengabdikan diri sebagai pastor paroki parid di sana dan kemudian bertemu dengan seorang anak perempuan bernama Upi yang memliki kelainan dan hidup miskin sehingga membuat Wis tertarik hatinya untuk membantu keluarga Upi dan masyarakat sekitar. Namun, Wis bernasib malang, ia kemudian ditangkap dan siksa oleh petugas. Dan berkat pertolongan mistis ia mampu melarikan diri.
Cerita kemudian berlanjut ke Laila, Shakuntala, Yasmin dan Cok Gita yang hidup di luar dari budaya-budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kesopanan dan adat istiadat. Mereka melakukan hubungan antara sesama perempuan dan melakukan hubungan seks bebas diluar nikah. Mereka berempat berteman sejak kecil

Novel ini sangat berani dalam menceritakan berbagai pengalaman seks dari sang tokoh sehingga melahirkan pandangan miring terhadap Ayu Utami (pengarang). Namun yang cenderung mendominasi dari novel ini adalah rasa simpati Wisanggeni yang bermula dari pertemuannya dengan Upi yang kemudian membangkitkan semangat Wis untuk memberikan kehidupan yang lebih layak kepada Upi dan keluarganya. Novel ini juga berbau mistitisme dan feminisme. Adanya aliran mistitisme (gaib) di dalam novel ini karena seperti yang kita ketahui bahwa novel ini menceritakan sang Ibu yang menjalin hubungan dengan makhluk lain yang tidak terlihat sosoknya hingga membuat sang Ibu hamil. Pada kehamilan yang pertamanya, bayi dalam kandungan Ibu hilang tanpa sempat dilahirkan, benar-benar kejadian yang diluar nalar manusia. Begitu juga dengan kelahiran keduanya, anak di dalam kandungan Ibu kembali hilang tanpa sempat dilahirkan. Dan pada kehamilan ketiganya bayi sang Ibu meninggal dihari ketiga tanpa diketahui penyebabnya. Hal-hal yang terjadi di kehidupan Ibu Wisanggeni sangat diluar nalar apabila diukur dari segi logika manusia. Mungkin memang benar hal itu pernah terjadi di daerah sekitar Prabumulih ataupun daerah lainnya akan tetapi apabila dibandingkan dengan kehidupan dimasa sekarang mana mungkin hal seperti itu terjadi lagi karena pemikiran masyarakat sekarang yang berpedoman pada logika dan sesuai kenyataan.

 Selanjutnya yaitu aliran feminisme yang terkandung di dalam novel ini karena di dalamnya menceritakan tentang perasaan tidak adil atas tugas yang diemban oleh para wanita timur yang harus menjaga keperawananya sampai ia menikah. Walaupun masyarakat Indonesia cukup toleran dalam hubungan seks di luar pernikahan maupun pelacuran, akan tetapi dalam wacana publik, sterotip-sterotip dan mitos bahwa perempuan harus pasif. Jadi posisi perempuan menjadi serba salah dan itulah yang coba diangkat oleh Ayu Utami dalm novel Saman. Karena itulah disini para tokoh menentang itu semua dengan melakukan hubungan seks diluar nikah dengan sembarang lelaki. Bukan hanya itu, novel ini juga menceritakan hubungan yang tidak semestinya anatar para wanita yang sering disebut lesbi atau orang-orang Perancis menyebutnya femme. Bila diukur dari segi masyarakat Indonesia yang sampai sekarang masih menjunjung nilai-nilai budaya timur yang memegang teguh nilai kesopanan dan keagamaan, prilaku perempuan di dalam novel ini benar-benar bertolak belakang. Tapi inilah yang menjadi daya tarik para penikmat sastra karena novel ini sangat berani mengungkapkan cerita-cerita seks yang ganas sehingga hanya pembaca yang sudah benar-benar dewasa saja yang bisa membacanya karena apabila novel ini di berikan pada anak-anak yang dibawah umur bisa jadi merusak kepribadian anak bangsa dan mengeksplor apa yang dibacanya melalui prilaku sehari-hari. Memang benar novel ini menggadang-gadangkan tentang gender, hak yang dirasa tidak adil bagi wanita, emansipasi dan sebagainya yang berhubungan dengan wanita. Akan tetapi perlu diketahui bahwa sebagai wanita itulah tugas yang diemban setiap wanita : menjaga kehormatanannya sampai ia menemukan seseorang yang sanggup menikahinya. Bukan hanya Islam, agama lain pun mengajarkan hal yang sama. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan, pastilah setiap agama mengajarkan kebaikkan. Dan novel ini sangat berlebihan dalam menggalangkan emansipasi wanita. Emansipasi yang digambarkan dalam novel ini sudah kebalasan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sudah tertanam sejak zaman dahulu di Negara Indonesia ini.

Terlepas dari segi mistitisme dan feminismenya, novel ini memberika amanat yang bisa dipetik oleh setiap pembaca melalui tokoh Wisanggeni. Tidak semua orang mau dan mampu menolong orang lain hingga mengorbankan waktu, tenaga, nyawa, kebebesan hingga mencoreng nama baiknya dimasyarakat dan akhirnya membuat ia harus meninggalkan jubah kepastorannya. Itulah yang berusaha di ungkapakan pengarang melalui tokoh Wisanggeni.  Apabila para penikmat sastra mampu memetik pesan yang berusaha disampaikan pengarang, bisa jadi itu membuat para penikmat sastra mampu mengapresiasikannya kedalam kehidupan sehari-hari dengan mengimplementasikan kebaikan-kebaikan yang ada dalam novel ini. Dan dari novel ini kita dapat belajar, karena belajar berarti mengubah pemikiran dan tindakan orang dari negatif menjadi positif, bukan sebaiknya. Apabila tujuan kita dari membaca karya satra adalah untuk belajar, maka kita akan mampu menarik pelajaran-pelajaran dari sana. Dan apabila tujuan kita hanya untuk menikmati sebuah karya sastra maka bisa jadi kita tidak akan mendapatkan pelajaran dari cerita-cerita yang berusaha diungkapkan pengarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar